Belajar dari Kuala Lumpur

Semua kita punya, sayang tidak terkelola dengan baik. Kenyamanan transportasi jadi kendala utama...

Penghambaan dan Megalitikum

Hatiku tergetar setiap kali mengenang Sumba Barat, kabupaten di NTT yang kaya budaya dan masih kuat mempertahankan adat...

Dari Karimun Jawa sampai Lawang Sewu

Berenang dengan ikan hiu? Karimun Jawa tempatnya. Datangi juga Lawang Sewu, gedung tua yang terbengkalai, tapi jadi tempat eksperimen foto yang menakjubkan...

Berpetualang di Tanjung Puting

Bisa menyusuri sungai, melihat buaya, kera ekor panjang, kunang-kunang dan tingkah polah orang utan, rasanya memang layak diperjuangkan...

Penghambaan dan Megalitikum


MENYUSURI Sumba seperti membaca cerita novel. Karena pulau itu memiliki banyak kisah dan tradisi. Sebagian besar tetap bertahan hingga saat ini.
Sumba terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Minat saya terhadap pulau itu sudah lama tergugah. Tepatnya ketika menonton film Surat untuk Bidadari garapan Garin Nugroho.
Ketika kesempatan itu datang dari Panorama Tour dan maskapai penerbangan TransNusa, saya langsung menyambar. Seusai perjalanan, tidak ada rasa kecewa sedikit pun. Sumba ialah rimba budaya dan tradisi. Saya melihat dan mendapat banyak cerita bak kisah dalam novel. Tentang Merapu, -- kepercayaan mereka -- penghambaan, megalitikum, pasola, hingga kesadaran tentang kekuatan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.


Penghambaan 

Seperti di daerah lain di Indonesia, Sumba memiliki banyak kerajaan.Karena itu, sistem masyarakatnya mengenal strata sosial. Paling ekstrem antara kaum bangsawan dan hamba mereka. Benar-benar hamba karena mereka dengan sukarela melayani tuan mereka, menyerahkan seluruh tenaga dan hidupnya hingga ke liang kubur.
Sebelum 1970, seorang hamba atau budak merasa sangat terhormat bila bisa mengikuti tuannya ke liang kubur. Caranya? Ada yang memilih dikubur hidup-hidup dan ada pula yang melalui upacara persembahan nyawa.
Cara itu tentu mengguncang kehidupan normal. Itulah sebabnya, pada 1970-an, aparat merasa perlu berjaga setiap ada upacara kematian.
Mereka datang, lengkap dengan bedil di tangan. Upaya itu membawa hasil. Kini, ritual persembahan nyawa jauh berkurang. Sebagai gantinya, masyarakat memotong kuda kesayangan untuk menemani kerabat yang sudah meninggal. Itu menjadi simbol mengganti nyawa seorang hamba.
Namun, masih tetap ada kasus-kasus yang mengguncang. Umbu Putra dari Sumba Tour, rekanan Panorama Tour yang ikut mendampingi perjalanan kami, bercerita, "Dua tahun lalu, di Sumba Timur terjadi lagi seorang hamba yang ikut dikubur hidup-hidup. Entah bagaimana, ia berhasil masuk ke peristirahatan tuannya. Hal seperti ini memang masih ada, meski sudah sangat jauh berkurang," kisahnya.
Di Sumba Timur, rekan wartawan, kontributor sebuah surat kabar berskala nasional juga memiliki cerita sendiri. Satu tahun lalu, ada seorang hamba yang dikorbankan untuk menemani tuannya ke alam baka.
Kasus itu tercium oleh aparat, kemudian diproses secara hukum. Aparat yang curiga itu bagian dari ritual yang melibatkan keluarga si tuan.
Namun, ibu anak yang menjadi hamba justru pasang badan. "Ibu ini mengaku bahwa ialah yang membunuh anaknya. Kasus ini masih berjalan di pengadilan," ujar teman saya tadi.
Begitulah tradisi penghambaan di Sumba. Meski tak lagi segarang dulu, masih ada kasus-kasus yang jelas mencengangkan kehidupan normal masyarakat berlabel beradab.

Megalitikum 

Jika Anda berwisata ke Sumba, jangan lewatkan menengok kuburan-kuburan batu yang sering disebut dengan istilah megalitikmu yang menjadi salah satu kekayaan budaya Sumba. Makam tradisional daerah itu bisa dikatakan sangat unik. Di Sumba Barat dan Timur, ada makam berbentuk batu besar dan disangga empat kaki yang juga terbuat dari batu. Di atasnya dihiasi pancang batu yang telah dipahat dengan berbagai ornamen. Rata-rata bergambar kuda, babi, anjing, dan kerbau.
Batu besar yang disangga itu telah dibuat sedemikian rupa hingga berlubang di bagian tengah dan ada pintu yang bisa dibuka dan ditutup.
Di situlah jenazah disemayamkan. Dan, di situ pula pada zaman dulu seorang hamba setia ikut dimakamkan hidup-hidup menemani sang tuan.
Penguburan di dalam batu merupakan salah satu wujud kepercayaan Merapu. Masyarakat Sumba Barat percaya, arwah orang yang meninggal tidak lagi menginjak tanah. Karena itu, mereka dikuburkan di dalam batu yang diletakkan di atas tiang penyangga. Awalnya, saya bingung. Bagaimana panjang tubuh manusia bisa dimasukkan dalam batu tersebut? Umbiaka, 67, dari Desa Anakalang, Sumba Barat bercerita, tidak lama setelah seseorang meninggal, jenazahnya didudukkan lalu diikat dengan posisi menyerupai janin. Kemudian ia dibebat berbagai kain tradisional. Setelah itu, mereka menunggu upacara adat kematian. "Waktunya tidak menentu, tergantung situasi, apakah ia masih berutang dan lainnya. Jika urusan duniawi sudah selesai, akan dikuburkan dengan cara dimasukkan ke dalam batu besar yang tengahnya sudah dilubangi," tuturnya sambil menunjuk satu makam di depan rumahnya yang terbesar di Sumba Barat.
"Itu makam ayah saya Umbu Sawola. Ukurannya 7,20 meter kali 4 meter," ujarnya.
Dulu sekitar 1970-an, kisah Umbiaka, batu untuk mengubur ayah dan ibunya diturunkan dari gunung menggunakan sekitar 3.000 tenaga manusia. Semua bergotong-royong selama kurang lebih satu bulan. Setiap hari, ayahnya yang menjabat sebagai kepala desa memotong sekitar 12 ekor kerbau untuk dimakan bersama.
Jumlah hewan yang dipotong kian banyak saat pelaksanaan upacara kematian. Kian tinggi status sosial seseorang maka kian besar pula jumlah hewan yang dikorbankan. Upacara itu bisa dilakukan berhari-hari, tergantung situasi dan hitungan adat.
Hewan, seperti kerbau, kuda, dan babi menjadi lambang berbagai upacara adat di Sumba. Tidak hanya kematian, tetapi digunakan dalam acara bilis (pemberian mas kawin). Status sosial lagi-lagi menjadi pertimbangan tingginya bilis yang diminta pihak perempuan. "Jumlahnya bisa ratusan," ujar Umbu Dewantoro dari Panorama Tour, Bali.
Adat seperti itu menurut Dewantoro, menjadikan masyarakat Sumba terjebak dalam kemiskinan. Banyak di antaranya memilih hidup seadanya bahkan kekurangan demi pelaksanaan upacara adat. "Bahkan, banyak yang memilih mengorbankan pendidikan anak demi terlaksana upacara adat," tuturnya.
Begitulah Sumba, sebagian masyarakatnya masih kuat memegang tradisi meski dalam keseharian mereka bersanding erat dengan arus modernisasi.
Penyesuaian memang terjadi di sana-sini. Misalnya, kini banyak makan yang tidak lagi menggunakan batu, tetapi semen. Lagi-lagi menjadi perlambang status sosial. Bagi yang memeluk agama Kristen, Islam, dan lainnya, jenazah di Sumba Barat tidak lagi diletakkan di dalam batu, tapi dikubur di dalam tanah. Di Sumba Timur, apa pun agamanya, termasuk Merapu, dikubur di tanah. Di sisi lain, batu digunakan untuk hiasan dan perlambang status sosial.
Pasola Sebuah iklan yang pernah tayang di televisi menggambarkan adegan pasola. Perang antardesa di Sumba dengan menunggang kuda dan senjata seperti bambu panjang. Jangan dikira itu hanya pertunjukkan biasa. Itu adalah upacara adat yang dilakukan tanpa rekayasa. Tanggal dan bulan pelaksanaan benar-benar dihitung ketat. Biasanya jatuh pada Februari dan Mei.
Perang itu pun berlangsung sungguh-sungguh. Karena itu, jangan heran bila ada yang benar-benar terluka, seperti telinga putus, mata terluka, kulit tergores, sobek, dan jenis luka lainnya.
Dendam? Tidak! Itulah hebatnya. Yang melukai dan dilukai tetap berbincang seperti biasa seusai pertandingan. Tak ada dendam. "Jika ada pun mereka tidak akan melakukan tawuran sebagai ajang balas dendam. Semuanya sudah diatur. Jika ingin membalas, akan dilakukan tahun depan di acara yang sama," jelas Umbu Putra.
Maka, begitulah kedamaian di Sumba terjaga.

Bahasa Indonesia 
Di Sumba, saya baru benar-benar menyadari kesaktian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Bayangkan, di Sumba Barat saja ada 23 kecamatan yang memiliki bahasa daerah berbeda. Benar-benar berbeda, andai ada yang mirip pun hanya beberapa kata. Alhasil, apa yang dibicarakan orang dari kecamatan A tidak akan dimengerti kecamatan B.
"Supaya saling mengerti, mereka berbicara dalam bahasa Indonesia," papar Umbu Dewantoro.
Di situlah saya menyadari betapa bahasa Indonesia benar-benar menjadi bahasa pemersatu. Kemudian saya berpikir, siapa dan bagaimana caranya bahasa Indonesia bisa merata di setiap kampung di pelosok pedalaman Sumba Barat dan Sumba Timur? Dua daerah itu sangat luas dan banyak yang masih hidup di pelosok-pelosoknya.
Pada akhirnya, sekarang saya benar-benar menghormati kebesaran bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Dan, seluruh cerita itu kini menjadi kekuatan wisata budaya di Sumba Barat dan Timur. Dua daerah kaya potensi yang pengembangannya masih minim. Dua daerah itu baru menggeliat, seiring dengan terbukanya akses transportasi udara yang semula dilakukan Merpati Nusantara Airlines dan kini bertambah dengan munculnya TransNusa. Maskapai baru yang digawangi putra daerah Alor Juvenile Jodjana.

Akses
Tambaloka adalah bandar udara di Sumba Barat. Tidak ada penerbangan internasional langsung ke Sumba Barat. Bali menjadi poin keberangkatan. Rute Bali-Sumba dilayani penerbangan lokal, antara lain Trans Nusa dan Merpati.
Dari Bandar Udara Tambaloka menuju Ibukota Kabupaten Sumba Barat, Waikabubak bisa ditempuh dalam waktu 1,5 sampai 2 jam. Tidak jauh dari pusat kota inilah bisa dijumpai Desa Adat Tarung. Satu desa yang penduduknya masih kuat memegang adat dan menganut animisme, Merapu. Mereka tidak terpengaruh hingar-bingar perubahan. 
Mendatangi objek wisata di Sumba Barat, sebaiknya menyewa kendaraan. Satu hari rata-rata Rp400 ribu, termasuk pengemudi tanpa bensin. Jika ingin mendapatkan jasa pemandu wisata berlisensi, maka biayanya sekitar Rp150 ribu sampai Rp200 ribu. Jika tidak, pengemudi kendaraan sewaan dapat menjadi pemandu ala kadarnya.
Sumba Barat juga bisa ditempuh lewat jalur laut, dari Kupang NTT dan juga dari Bima NTB.


Foto : Antara, Kompas,blog.travelpod.com

Leave a Reply